Betapa banyak orang yang terkesima dengan kilauan harta orang lain.
Tidak pernah merasa cukup dengan harta yang ia miliki. Jika sudah
mendapatkan suatu materi dunia, dia ingin terus mendapatkan yang lebih.
Jika baru mendapatkan motor, dia ingin mendapatkan mobil kijang. Jika
sudah memiliki mobil kijang, dia ingin mendapatkan mobil sedan. Dan
seterusnya sampai pesawat pun dia inginkan. Itulah watak manusia yang
tidak pernah puas.
Melihat Orang Di Bawah Kita dalam Hal Harta dan Dunia
Sikap
seorang muslim yang benar, hendaklah dia selalu melihat orang di
bawahnya dalam masalah harta dan dunia. Betapa banyak orang di bawah
kita berada di bawah garis kemiskinan, untuk makan sehari-hari saja
mesti mencari utang sana-sini, dan masih banyak di antara mereka keadaan
ekonominya jauh di bawah kita. Seharusnya seorang muslim memperhatikan
petuah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini.
Suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyampaikan nasehat kepada Abu Dzar. Abu Dzar berkata, “Kekasihku
yakni Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintah tujuh perkara
padaku, (di antaranya): [1] Beliau memerintahkanku agar mencintai orang
miskin dan dekat dengan mereka, [2] beliau memerintahkanku agar melihat
orang yang berada di bawahku (dalam masalah harta dan dunia), juga
supaya aku tidak memperhatikan orang yang berada di atasku. …”
(HR. Ahmad 20447. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
(HR. Ahmad 20447. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika
salah seorang di antara kalian melihat orang yang memiliki kelebihan
harta dan bentuk (rupa) [al kholq], maka lihatlah kepada orang yang
berada di bawahnya.”
(HR. Bukhari 6009, Muslim 5263).
(HR. Bukhari 6009, Muslim 5263).
Ibnu Hajar mengatakan, “Yang dimaksud dengan al khalq adalah
bentuk tubuh. Juga termasuk di dalamnya adalah anak-anak, pengikut dan
segala sesuatu yang berkaitan dengan kenikmatan duniawi.” (Fathul Bari, 11/32)
Agar Tidak Memandang Remeh Nikmat Allah
Dengan
memiliki sifat yang mulia ini yaitu selalu memandang orang di bawahnya
dalam masalah dunia, seseorang akan merealisasikan syukur dengan
sebenarnya.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pandanglah
orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan
janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah
ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat
Allah padamu.”
(HR. Muslim 5264, Tirmidzi 2437, Ibnu Majah 4132, Ahmad 7137)
(HR. Muslim 5264, Tirmidzi 2437, Ibnu Majah 4132, Ahmad 7137)
Al Munawi –rahimahullah-
mengatakan, “Jika seseorang melihat orang di atasnya (dalam masalah
harta dan dunia), dia akan menganggap kecil nikmat Allah yang ada pada
dirinya dan dia selalu ingin mendapatkan yang lebih. Cara mengobati
penyakit semacam ini, hendaklah seseorang melihat orang yang berada di
bawahnya (dalam masalah harta dan dunia). Dengan melakukan semacam ini,
seseorang akan ridho dan bersyukur, juga rasa tamaknya (terhadap harta
dan dunia) akan berkurang. Jika seseorang sering memandang orang yang
berada di atasnya, dia akan mengingkari dan tidak puas terhadap nikmat
Allah yang diberikan padanya. Namun, jika dia mengalihkan pandangannya
kepada orang di bawahnya, hal ini akan membuatnya ridho dan bersyukur
atas nikmat Allah padanya.”
(Lihat Faidul Qodir Syarh Al Jaami’ Ash Shogir, 1/573)
(Lihat Faidul Qodir Syarh Al Jaami’ Ash Shogir, 1/573)
Itulah
yang akan membuat seseorang tidak memandang remeh nikmat Allah karena
dia selalu memandang orang di bawahnya dalam masalah harta dan dunia.
Ketika dia melihat juragan minyak yang memiliki rumah mewah dalam
hatinya mungkin terbetik, “Rumahku masih kalah dari rumah juragan minyak
itu.” Namun ketika dia memandang pada orang lain di bawahnya, dia
berkata, “Ternyata rumah tetangga dibanding dengan rumahku, masih lebih
bagus rumahku.” Dengan dia memandang orang di bawahnya, dia tidak akan
menganggap remeh nikmat yang Allah berikan. Bahkan dia akan mensyukuri
nikmat tersebut karena dia melihat masih banyak orang yang tertinggal
jauh darinya.
Berbeda
dengan orang yang satu ini. Ketika dia melihat saudaranya memiliki
Blackberry, dia merasa ponselnya masih sangat tertinggal jauh dari
temannya tersebut. Akhirnya yang ada pada dirinya adalah kurang
mensyukuri nikmat, menganggap bahwa nikmat tersebut masih sedikit,
bahkan selalu ada hasad (dengki) yang berakibat dia akan memusuhi dan
membenci temannya tadi. Padahal masih banyak orang di bawah dirinya yang
memiliki ponsel dengan kualitas yang jauh lebih rendah. Inilah cara
pandang yang keliru. Namun inilah yang banyak menimpa kebanyakan orang
saat ini.
Dalam Masalah Agama dan Akhirat, Hendaklah Seseorang Melihat Orang Di Atasnya
Dalam
masalah agama, berkebalikan dengan masalah materi dan dunia. Hendaklah
seseorang dalam masalah agama dan akhirat selalu memandang orang yang
berada di atasnya. Haruslah seseorang memandang bahwa amalan sholeh yang
dia lakukan masih kalah jauhnya dibanding para Nabi, shidiqin, syuhada’
dan orang-orang sholeh. Para salafush sholeh sangat bersemangat sekali
dalam kebaikan, dalam amalan shalat, puasa, sedekah, membaca Al Qur’an,
menuntut ilmu dan amalan lainnya. Haruslah setiap orang memiliki cara
pandang semacam ini dalam masalah agama, ketaatan, pendekatan diri pada
Allah, juga dalam meraih pahala dan surga. Sikap yang benar, hendaklah
seseorang berusaha melakukan kebaikan sebagaimana yang salafush sholeh
lakukan. Inilah yang dinamakan berlomba-lomba dalam kebaikan.
Dalam masalah berlomba-lomba untuk meraih kenikmatan surga, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya
orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam keni’matan yang besar
(syurga), mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Kamu
dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan mereka yang penuh
keni’matan. Mereka diberi minum dari khamar murni yang dilak
(tempatnya), laknya adalah kesturi; dan untuk yang demikian itu
hendaknya orang berlomba-lomba.” (QS. Al Muthaffifin: 22-26) Al Qurtubhi mengatakan, “Berlomba-lombalah di dunia dalam melakukan amalan shalih.” (At Tadzkiroh Lil Qurtubhi, hal. 578)
Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan.” (QS. Al Ma’idah: 48) “Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang
bertakwa.” (QS. Ali Imron: 133)
Inilah
yang dilakukan oleh para salafush sholeh, mereka selalu berlomba-lomba
dalam kebaikan sebagaimana dapat dilihat dari perkataan mereka berikut
ini yang disebutkan oleh Ibnu Rojab –rahimahullah-. Berikut sebagian perkatan mereka.
Al Hasan
Al Bashri mengatakan, “Apabila engkau melihat seseorang mengunggulimu
dalam masalah dunia, maka unggulilah dia dalam masalah akhirat.” Wahib
bin Al Warid mengatakan, “Jika kamu mampu untuk mengungguli seseorang
dalam perlombaan menggapai ridho Allah, lakukanlah.” Sebagian salaf
mengatakan, “Seandainya seseorang mendengar ada orang lain yang lebih
taat pada Allah dari dirinya, sudah selayaknya dia sedih karena dia
telah diungguli dalam perkara ketaatan.” (Latho-if Ma’arif, hal. 268)
Namun
berbeda dengan kebiasaan orang saat ini. Dalam masalah amalan dan pahala
malah mereka membiarkan saudaranya mendahuluinya. Contoh gampangnya
adalah dalam mencari shaf pertama. “Monggo pak, bapak aja yang di
depan”, kata sebagian orang yang menyuruh saudaranya menduduki shaf
pertama. Padahal shaf pertama adalah sebaik-baik shaf bagi laki-laki dan
memiliki keutamaan yang luar biasa. Seandainya seseorang mengetahui
keutamaannya, tentu dia akan saling berundi dengan saudaranya untuk
memperebutkan shaf pertama dalam shalat, bukan malah menyerahkan shaf
yang utama tersebut pada orang lain.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik
shaf bagi laki-laki adalah shaf pertama, sedangkan yang paling jelek
bagi laki-laki adalah shaf terakhir. Sebaik-baik shaf bagi wanita adalah
shaf terakhir, sedangkan yang paling jelek bagi wanita adalah shaf
pertama.”
(HR. Muslim 664)
(HR. Muslim 664)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Seandainya
setiap orang tahu keutamaan adzan dan shaf pertama, kemudian mereka
ingin memperebutkannya, tentu mereka akan memperebutkannya dengan
berundi.”
(HR. Bukhari 580 dan Muslim 661)
(HR. Bukhari 580 dan Muslim 661)
Mari kita saling berlomba dalam meraih surga dan pahala di sisi Allah!
Kekayaan Paling Hakiki adalah Kekayaan Hati
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan kita melihat kepada orang yang berada di bawah kita dalam
masalah dunia agar kita menjadi orang yang bersyukur dan qana’ah yaitu
selalu merasa cukup dengan nikmat yang Allah berikan, juga tidak hasad
(dengki) dan tidak iri pada orang lain. Karena ketahuilah bahwa kekayaan
yang hakiki adalah kekayaan hati yaitu hati yang selalu merasa cukup
dengan karunia yang diberikan oleh Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kekayaan (yang hakiki) bukanlah dengan banyaknya harta. Namun kekayaan (yang hakiki) adalah hati yang selalu merasa cukup.”
(HR. Bukhari 5965 dan Muslim 1741).
Bukhari membawakan hadits ini dalam Bab “Kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan hati (hati yang selalu merasa cukup).”
(HR. Bukhari 5965 dan Muslim 1741).
Bukhari membawakan hadits ini dalam Bab “Kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan hati (hati yang selalu merasa cukup).”
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Sungguh
sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rizki yang
cukup dan Allah menjadikannya merasa puas dengan apa yang diberikan
kepadanya.”
(HR. Muslim 1746)
(HR. Muslim 1746)
Seandainya
seseorang mengetahui kenikmatan yang seolah-olah dia mendapatkan dunia
seluruhnya, tentu betul-betul dia akan mensyukurinya dan selalu merasa
qona’ah (berkecukupan). Kenikmatan tersebut adalah kenikmatan memperoleh
makanan untuk hari yang dia jalani saat ini, kenikmatan tempat tinggal
dan kenikmatan kesehatan badan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
di antara kalian merasa aman di tempat tinggalnya, diberikan kesehatan
badan, dan diberi makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dia telah
memiliki dunia seluruhnya.”
(HR. Tirmidzi 2268. Syaikh Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
(HR. Tirmidzi 2268. Syaikh Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Oleh karena itu, banyak berdo’alah pada Allah agar selalu diberi kecukupan. Do’a yang selalu dipanjatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah do’a:
“Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina” (Ya Allah,
aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan
ghina)
(HR. Muslim 4898)
(HR. Muslim 4898)
An Nawawi –rahimahullah- mengatakan, “Afaf dan ‘iffah bermakna menjauhkan dan menahan diri dari hal yang tidak diperbolehkan. Sedangkan al ghina adalah hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di sisi manusia.” (Syarh Muslim, 17/41)
Ya Allah, berikanlah pada kami sifat ‘afaf dan ghina. Amin Yaa Mujibas Sa’ilin. Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan dimudahkan untuk beramal sholeh.
Oleh : Muhammad Abduh Tuasikal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar